PENGETAHUAN TINGKAT II

Posted by Unknown Kamis, 18 Juli 2013 0 komentar
Apakah manusia cukup denga pengetahuan tingkat I? Jawabnya tentu tidak cukup. Manusia selain ingin mengetahui kebenaran-kebenaran yang langsung dapat diindera, dia juga ingin mengetahui obyek-obyek yang tidak dapat terindera secara langsung (obyek yang ghaib). Nah, obyek-obyek yang ghaib tersebut itu meliputi apa saja? Obyek yang ghaib ada 3, yaitu (An-Nabhani 1973):
1. Sesuatu yang tersembunyi.
2. Sesuatu yang terjadi di masa lampau.
3. Sesuatu kejadian di masa yang akan datang.

Bagaimana manusia bisa memperoleh pengetahuan tentang obyek-obyek yang ghaib tersebut? Untuk memperoleh pengetahuan tingkat II, ternyata syaratnya lebih mudah dibanding dengan pengetahuan tingkat I. Jika untuk memperoleh pengetahuan tingkat I syaratnya ada 4, maka untuk pengetahuan tingkat II ini syaratnya hanya satu, yaitu: Harus ada dalil yang terindera secara langsung. Itu saja.

Apa makna dalil itu? Dalil artinya penunjuk. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pengetahuan tingkat II ini manusia harus mempunyai dalil terlebih dahulu. Dalil itu harus terindera secara langsung. Dengan kata lain, dalil tersebut harus merupakan kebenaran yang diperoleh dari pengetahuan tingkat I (kebenaran langsung).

Apa contohnya? Kita dapat mulai dari obyek ghaib yang pertama, yaitu sesuatu yang tersembunyi. Bagaimana manusia dapat memperoleh pengetahuan dari obyek yang tersembunyi? Kita bisa mulai dari contoh yang sederhana. Misalnya kita melihat kamar yang tertutup dan terkunci. Kita ingin mengetahui, di dalam kamar tersebut isinya apa? Jika kita hanya menduga-duga, kemungkinan besar di dalamnya ada seekor kuda ( misalnya), maka proses itu tidak dapat dikatakan sebagai aktifitas berfikir.

Untuk dapat dikatakan sebagai proses berfikir, maka manusia harus mendapatkan dalil terlebih dahulu. Misalnya kita mendengar suara “ringkikan kuda” dari dalam kamar. Suara ringkikan kuda ini adalah sesuatu yang dapat terindera secara langsung (indera pendengaran). Inilah yang disebut dalil. Dengan adanya dalil ini, maka kita dapat menyimpulkan bahwa di dalam kamar tersebut ada kudanya.

Selain ingin mengetahui sesuatu yang tersembunyi, manusia juga ingin mengetahui sesuatu yang sudah lampau. Apa contohnya? Misalnya kita ingin mengetahui, apakah tadi malam ada mobil yang telah memasuki halaman rumah kita atau tidak? Untuk dapat megetahuinya, kita dapat mencari dalil. Jika kita menemukan dalil, misalnya adanya telapak ban mobil yang terindera secara langsung (indera penglihatan), maka kita dapat mengetahui bahwa tadi malam ada mobil yang telah masuk ke halaman rumah kita.

Bagaimana dengan obyek yang akan datang? Prosesnya sama. Misalnya, jika kita ingin mengetahui apakah nanti akan hujan atau tidak? Untuk mengetahuinya, kita harus mencari dalil. Dalilnya adalah dengan melihat mendung yang ada di atas kita. Jika kita dapat mengindera secara langsung, adanya mendung hitam yang telah menggelantung di atas kita, maka itu dapat kita jadikan dalil, bahwa sebentar lagi tentu akan turun hujan. Oleh karena itu jika kita hendak pergi, maka kita harus sedia payung sebelum hujan.

Demikian seterusnya. Manusia tentu ingin mengetahui hal-hal yang tersembunyi, yang lampau, yang akan datang, dengan berbagai obyek yang glebih kompleks lagi. Misalnya manusia ingin tahu, di dalam gunung itu terkandung bahan mineral apa saja? Di dalam lautan itu terkandung minyak atau tidak? Pendiri Kerajaan Inggris itu siapa? Revolusi Perancis itu terjadi karena apa? Gunung Merapi itu akan meletus atau tidak? Dan sebagainya. Prosesnya tetap sama, yaitu manusia memerlukan dalil yang dapat diindera secara langsung.

Itulah proses manusia dalam memperoleh kebenaran tidak langsung atau pengetahuan tingkat II. Nah, setelah manusia dapat memperoleh pengetahuan tersebut, selanjutnya bagaimana dengan nilai kebenaran dari pengetahuan tingkat II yang telah didapat tersebut? Jika nilai kebenaran pengetahuan tingkat I itu hanya satu, yaitu pasti benar, maka untuk nilai kebenaran dari pengetahuan tingkat II ini ada 3 kemungkinan nilai, yaitu:
1. Pasti benar (wajib aqli)
2. Mungkin benar (jaiz aqli)
3. Pasti salah (mustahil aqli)

Apa contohnya? Kembali pada contoh di atas, yaitu ketika manusia ingin mengetahui sesuatu yang tersembunyi. Apa isi dari kamar yang terkunci? Dalilnya adalah ringkikan kuda. Jika kita mendengar sura ringkikan kuda, apakah di dalam kamar itu pasti benar ada kudanya? Jawabannya adalah: mungkin benar (jaiz aqli). Mengapa? Sebab, masih ada kemunginan yang lain. Kemungkinannya adalah: suara kuda, rekaman tape recorder, suara manusia yang mirip kuda, dsb. Oleh karena itu, akal manusia tidak bisa dipaksa untuk mengatakan: pasti ada kuda di dalam kamar tersebut.

Demikian juga terhadap contoh yang kedua, untuk kejadian yang sudah lampau. Apakah tadi malam ada mobil yang masuk ke halaman rumah kita atau tidak? Dalilnya adalah telapak ban. Jika kita melihat dalil telapak ban, kemudian kita menyimpulkan: tadi malam ada mobil yang masuk ke halaman rumah kita. Bagaimana nilai kebenaran dari kesimpulan tersebut? Jawabannya adalah: mungkin benar (jaiz aqli). Mengapa? Sebab, menurut akal kita, masih ada beberapa kemungkinan, seperti: ada mobil yang lewat, kemungkinan gerobag yang lewat atau kemungkinan ban saja yang lewat, dsb.

Untuk contoh ketiga juga sama, dalil mendung juga tidak bisa untuk memastikan akan terjadinya hujan. Sebab, jika kita melihat mendung, kemungkinan menurut akal adalah, akan terjadi hujan, kemungkinan juga tidak terjadi hujan. Kita tidak bisa memastikan, jika kita melihat mendung, pasti akan terjadinya hujan.

Jika melihat dari contoh-contoh pengetahuan tingkat II tersebut, sepertinya tidak ada yang bisa mengantarkan pada kebenaran yang pasti. Apakah berarti manusia tidak bisa mendapatkan kebenaran yang pasti dari masalah-masalah yang ghaib? Jawabannya: masih bisa! Manusia masih bisa memperoleh kebenaran yang pasti dari pengetahuan tingkat II ini. Apa contohnya?

Contohnya, jika manusia melihat dalil telapak ban tadi, apa yang bisa dipastikan dari dalil ini? Jawabnya adalah: pasti ada yang membekasi! Itu jawaban yang pasti benar. Tidak ada satupun akal manusia yang bisa menolak kebenaran tersebut. Bagaimana jika kita ditanya lebi lanjut? Benda apakah yang telah membekasinya? Apakah mobil? Apakah gerobag? Ataukah hanya ban saja.

Jika pertanyaannya ditambahi lagi, maka semua jawaban akan bernilai: mungkin benar (jaiz aqli). Mengapa? Sebab, dalilnya hanya telapak ban, maka manusia tidak dapat menambah kesimpulan lain selain jawaban tadi, yang nilainya dapat dikategorikan sebagai kesimpulan yang pasti benar.

Apa contoh yang lain? Jika kita melihat sebuah bangunan rumah, kemudian kita jadikan sebagai suatu dalil. Apa kesimpulan yang bisa kita buat dari dalil tersebut, yang nilainya masuk kategori pasti benar? Jawabnya adalah: rumah tersebut pasti ada yang membangunnya. Itulah jawaban yang nilainya pasti benar. Bagaimana jika pertanyaan dilanjutkan: siapa nama orang yang membangun rumah tersebut? Apakah Pak Sholh? Pak Selamet? Pak Subhan?

Jika pertanyaannya ditambahi lagi, maka semua jawaban akan bernilai: mungkin benar (jaiz aqli). Mengapa? Sebab, dalilnya hanya bangunan rumah, tidak ada dalil tambahan lagi. Jika dalilnya hanya bangunan rumah, maka manusia tidak dapat menambah kesimpulan lain selain jawaban tadi, yang nilainya dapat dikategorikan sebagai kesimpulann yang pasti benar.

Dengan demikian, sesungguhnya manusia masih dapat memperoleh kebenaran yang pasti untuk masalah yang ghaib, dengan metode berfikir seperti ini. Metode berfikir seperti ini, selanjutnya dapat kita namakan dengan metode: metode aqliyah. Baik untuk pengetahuan tingkat I, maupun pengetahuan tingkat II sebagaimana yang telah dijelaskan secara panjang lebar seperti di atas.

Dalam perkembangannya, untuk memeroleh berbagai pengetahuan tingkat II, manusia kemudian melakukan upaya-upaya lebih lanjut. Proses pengkajian dalilnya tidak sesederhana sebagaimana yang kita contohkan tadi. Untuk mengkai dalil tersebut, ternyata telah dilakukan suatu proses yang lebih rumit, yang dikenal dengan istilah riset atau penelitian dengan menggunakan suatu metodologi tertentu.

Metodologi untuk memperoleh ilmu dalam tingkatan II inilah, yang kemudian dikenal dengan sebutan metode ilmiah atau ada yang menyebut dengan istilah metode eksperimental. Apa yang membedakan antara metode ilmiah dengan metode aqliyah seperti di atas? Sesungguhnya metode ilmiah ini masih masuk dalam cabang dari metode aqliyah. Dalam metode ilmiah ini masih ada tambahan tahapan perlakuan dari metode aqliyah sebelumnya, yaitu pengujian ilmiah.

Pengujian ilmiah adalah sebuah proses uji coba terhadap suatu obyek tertentu yang masih alami untuk diuji dalam skala laboratorium, dengan cara melakukan penelitian (komparasi) dengan menggunakan standar obyek tertentu yang lain yang masih murni. Bagaimana penjelasannya?

Misalnya kita mengambil air dari sumber yang masih alami dari sebuah pegunungan. Kita ingin mengetahui, apakah air tersebut mengandung kapur (CaCO3) atau tidak ? dengan hanya menggunakan indera kita secara langsung, misalnya dengan mata telanjang atau dengan menggunakna lidah kita, kita tidak akan bisa mengetahui, apakah air tersebut mengandung kapur atau tidak?

Untuk mengetahuinya, kita harus melakukan proses pengujian. Untuk dapat menguji air tersebut, apakah mengandung kapur atau tidak, maka kita harus mempunyai bahan kapur (CaCo3) yang murni. Dengan menggunakan alat tertentu dalam laboratotium, bahan kapur murni tersebut dapat diuji terlebih dahulu untuk dilihat pola grafiknya. Setelah itu, air pegunungan tersebut dapat diuji dengan menggunakan alat yang sama.

Jika dari air pegunungan yang diuji tersut muncul banyak pola grafik dan salah satunya ada pola grafik yang sama dengan pola grafik dari bahan kapur yang murni tersebut, maka kita dapat menyimpulkan bahwa air pegunungan tersebut mengandung kapur. Inilah yang disebut proses pengujian ilmiah dengan menggunakan metode ilmiah.

Metode ilmiah ini memang metode yang dapat diandalkan oleh manusia untuk mengetahui berbagai rahasia alam. Namun sayangnya, dalam perkembangan berikutnya, metode ilmiah ini kemudian dijadikan sebagai satu-satunya metode yang digunakan oleh para ilmuwan untuk memperoleh kebenaran. Sedangkan metode aqliyah sebagai induknya sudah ditinggalkan, bahkan ada yang menganggap bukan sebagai sebuah metode yang ilmiah lagi.

Apa akibatnya? Akhirnya metode ilmiah ini tidak hanya digunakan untuk meneliti obyek-obyek alam saja (yang bisa diteliti dalam skala laboratorium), namun juga untuk meneliti obyek-obyek sosial kemanusiaan dan sosial kemasyarakatan. Bagaimana metode ilmiah (metode eksperimental) bisa masuk dalam ranah obyek sosial? Inilah hal yang menarik untuk diperhatikan.

Ternyata ilmuwan di bidang sosial tidak mau kalah dengan ilmuwan bidang kealaman. Mereka juga berlomba-lomba untuk mengembangkan metodologi ilmiah di bidang sosial. Bagaimana fenomena sosial kemanusiaan dan sosial kemasyarakatan dapat diuji dalam skala laboratorium?

Jawabnya tentu tidak dengan pengujian skala laboratorium, sebagaimana dalam ilmu alam. Ilmuwan sosial akhirnya dapat mengembangkan “pengujian laboratorium” menurut anggapan mereka. Dengan menggunakan apa? Pengujian laboratoriumnya adalah dengan membuatkan sebuah “model” tertentu, yang banyak dibantu oleh logika-logika matematika. Sehingga sering dikenal dengan “model matematika”-nya.

Semua fenomena sosial dapat dibuatkan model matematikanya sebagai bentuk miniatur dari fakta aslinya, sebagaimana skala laboratorium yang berfungsi sebagai miniatur dari fenomena alam. Jika fenomena sosial dapat dibuatkan model matematikanya, maka pengujian ilmiah-pun dapat dilakukan terhadap model ini, sebagaimana pengujian ilmiah dalam ilmu alam. Selanjutnya, pengetahuan yang telah diperoleh dengan metode ilmiah ini dikenal dengan istilah ilmu pengetahuan sosial.

Berbagai ilmu pengetahuan yang diperoleh dari metode ilmiah ini kemudian digolongkan dalam kelompok ilmu-ilmu murni (pure sciences). Misalnya adalah: ilmu kimia, ilmu biologi, ilmu fisika, matematika dsb, yang masuk dalam kategori rumpun ilmu pengetahuan alam. Sedangkan yang masuk dalam rumpun ilmu-ilmu sosial misalnya adalah sosiologi, psikologi, ilmu ekonomi, ilmu politik dsb.

Sumber:
Ekonomi Islam Madzhab HAMFARA
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: PENGETAHUAN TINGKAT II
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://avathuroba.blogspot.com/2013/07/pengetahuan-tingkat-II.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

trikmudahseo.blogspot.com support www.evafashionstore.com - Original design by Bamz | Copyright of aVathuroba.